Tentang Sekolah Rakyat KAMI

Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia
Pendidikan untuk semua. Inilah yang menjadi dasar didirikannya Sekolah Rakyat Kami. Bergerak pada isu pendidikan Alternatif, sekolah Rakyat KAMI (Komunitas Anak Miskin) mendampingi anak-anak pemulung yang terletak di pintu nol Politeknik Negeri Ujung Pandang atau belakang workshop Unhas (pemukiman pemulung). Sejak didirikannya pada tahun 2007 sampai hari ini, sekitar 30an anak pemulung dengan rutin bermain dan belajar bersama disebuah gubuk kecil, usang, namun nyaman yang sering kami sebut dengan nama Sekolah. Karena di Sekolah rakyat KAMI, tidak ada sekat formal yang membatasi anak untuk berlajar

Kamis, 05 April 2012

Warna – Warni sekolah KAMI; Sebuah catatan sederhana tentang sekolah rakyat KAMI


Top of Form
 
Dengan nama Allah yang hanya kepada-Nya lah aku bergantung,, dengan nama Allah Yang hanya kepada-Nya lah aku berharap.. Dengan nama Allah yang Hanya kepadanya kuserahkan Hidup dan Matiku. Bismillahirrahmaanirrahiim..

Sekilas tentang sekolah rakyat KAMI…
          Entah ingin memulai dari mana.. sekolah rakyat KAMI (komunitas Anak Miskin),, dari namanya sudah nampak sedikit gambaran tentang sekolah ini.. kami menyebutnya sekolah alternative atau sekolah rakyat.. sangat berbeda dengan sekolah formal yang kita pernah jalani pada umumnya.. di sekolah ini tidak ada tradisi upacara, tidak ada ujian Nasional, tidak ada ibu dan bapak guru berseragam yg tiap hari menghiasi
hari-hari di sekolah. Di sekolah ini tidak ada kata “dimarahi”, atau “dihukum” oleh bu guru ketika terlambat atau sekedar tidak memakai topi saat upacara hari senin.
          Di sekolah ini, anak-anak bebas mengerjakan apa yang mereka mau kerjakan, tanpa ada rasa tertekan atau cemas kalau-kalau yang dikerjakan tidak sesuai dengan teori yang diajarkan oleh guru. Di sekolah ini bahkan tidak ada kata “guru” dan “murid”, karna yang ada adalah “teman” atau “saudara”.. tidak ada kata si kaya dan si miskin, si cerdas dan si goblok, si “palla’” dan si “pongoro” dalam bahasa makassar.. biasanya di sekolahku dulu yang rangking 1 itu sering dijuluki “palla’” atau yang dalam bahasa Indonesia disebut si “jago”.. di sekolah ini semua bebas berekspresi.. belajar bisa dimana saja,, di lapangan sepak bola, di danau, di kuburan bahkan (seperti yang pernah teman-teman volunteer terapkan, karena waktu itu sekolah belum punya ruang yang bisa untuk tempat belajar).. sekarang ini Alhamdulillah sudah ada tempat untuk adik-adik belajar,, tempatnya “indah” untuk anak-anak yang tegar seperti mereka.
          Meski banyak orang yang mengatakan itu tempat yang kumuh dengan sampah dan kumpulan botol plastic bekas yang membukit di sekitarnya, dengan pemandangan dan bau yang kacau.. tapi di tempat itu anak-anak masih bisa tersenyum bahagia,, sangat bahagia malah,, di tempat yang hanya berukuran kurang lebih (2 x 2) m2 itu, kami masih bisa bermain dan berlajar banyak hal

Apa yang membuat saya ingin bergabung di sekolah rakyat kami ?
          Di dunia ini ada banyak sekali orang yang hidup tapi sebenarnya mereka “mati”. Karena mereka tidak memberi arti untuk sesama. Mereka hanya berfokus untuk hidupnya sendiri tanpa memberi manfaat untuk sesama. Naudzubillah!. Allah mencintai manusia yang memberi manfaat untuk sesama.  

          “sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat.” (al-hadist)
          “Bila anak Adam mati terputuslah seluruh amalnya kecuali dari tiga (perkara):          shodaqoh jariyah         (sedekah yang berlanjut), atau ilmu yang bermanfaat, atau          anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
          It is not what we give, but what we share…”

          Apa guna hidup kalau tak bisa memberi arti. Tidak ada orang yang rugi karena berbagi. Apalagi berbagi ilmu. Ladang pahala jariyah yang akan terus mengalir walau kita meninggal nanti. Sempat ada yang menegur, “ah, kamu kan belum sarjana, an. Focus saja pada skripsimu, jangan buang-buang waktumu”. Saya hanya bisa tersenyum. Sama sekali saya tidak ingin mengesampingkan penyelesaian studi. Dalam seminggu ada 7 hari, dan dalam 7 hari itu saya membagi antara waktu pribadi dengan waktu social. Saya rasa saya tidak perlu menjelaskan tentang urusan pribadi saya disini. ^_^
          Ada banyak hal yang tidak bisa dipahami. Ada kebahagiaan tersendiri ketika kita berbagi. Bahkan ketika sekedar berbincang-bincang dengan warga pemulung. Ada kebahagiaan tersendiri ketika bisa mengajar di sekolah kami. Seperti ada magnet yang sangat kuat yang menarik saya untuk dekat dengan mereka. Saya tidak bisa menggambarkan smuanya. Saya hanya berharap anda bisa merasakan kebahagiaan ini. ^_^

Dari mereka saya banyak belajar…
          Bagiku semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah. Selama kita bisa mengambil hikmah atau pelajaran darinya. Pertama kali saya menginjakkan kaki di perumahan kumuh itu, saya berpikir.. bagaimana mungkin kawan-kawan volunteer bisa mengajar di tempat seperti ini.. jalannya becek, tempatnya bau dan kotor.. dimana mereka belajar? Saya masih ingat waktu itu, kalau tidak salah tahun 2009, saya dan teman-teman dari jurusan keperawatan unhas membuat penyuluhan tentang kesehatan gigi di sana. Tempat yang disediakan warga waktu itu sempit sekali kurang lebih (2 x 2) m2, dan untuk menuju ke sana kita harus melewati pondasi-pondasi karena tanahnya becek/berlumpur.  Tapi kami menjadi sangat antusias dan semangat setelah melihat antusiasme anak-anak untuk mendapat penyuluhan dari kami. Mereka riang, tak satupun yang murung atau mengeluh. Saya jadi berpikir, bagaimana seandainya saya yang berada di posisi mereka. Dalam umurnya yang masih sangat muda (usia sekolah) mereka sudah dituntut untuk bekerja membantu keluarga memungut botol-botol plastik, dari pagi sampai sore.. dan dengan berjalan kaki. Bisa kubayangkan bagaimana lelahnya mereka. Yah, itu kesan pertama saat pertama kali bertemu anak-anak itu. Saat pertama kali berkunjung ke tempat itu. Perkampungan pemulung di belakang politeknik unhas.
          Bagiku mereka adalah guru-guru kecil yang mengajarkan banyak hal. Dari mereka saya belajar untuk menikmati hidup. Bagaimanapun getirnya, mereka selalu bisa menjalani dengan terenyum dan ceria. Dari mereka saya belajar, tentang mandiri dan berbakti pada keluarga. Mereka masih kecil tapi udah bisa bekerja mencari nafkah untuk keluarga. Sementara saya? Sepertinya belum banyak yang bisa saya lakukan untuk mama dan bapak. Dari mereka saya belajar nikmatnya sabar. Saya bisa melihat guratan lelah dari wajah mereka tapi adakah mereka menangis dan mengeluh?? TIDAK. Adakah mereka galau??? TIDAK.. sementara kita? Sakit kepala saja sudah banyak keluh.. mereka berjalan menyusuri kampus dan tempat-tempat lainnya untuk memulung, bahkan kadang tidak memakai sandal. Kebayang gak betapa panasnya terik matahari, panasnya aspal dan lelahnya berjalan sambil menentengi karungan botol-botol itu..? dari mereka saya belajar tentang kesungguhan dalam menuntut ilmu. Mereka benar-benar sangat mau belajar. Mereka selalu antusias tiap ada “kakak” yang datang mengajar. Padahal kita lihat kondisi pembelajaran yang mereka terima sangat jauh dari fasilitas yang kita dapatkan di sekolah. Tapi mereka menyambut dengan riang dan bersemangat. Saya yakin di luar sana banyak anak-anak yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mendapat fasilitas yang lebih mewah tapi ogah-ogahan menjalaninya, bahkan banyak yang “terpaksa” sekolah karena permintaan orang tua. Masih banyak pelajaran lain yang telah dan akan selalu bisa kudapatkan dari mereka.. insyaAllah.

 Tentang pengalaman pertama mengajar…
          Saat pertama kali mengajar, kondisinya agak berbeda dengan saat pertama berkunjung disana. Alhamdulillah sudah ada space untuk belajar. Kata kak rahi, tempat itu dibuat oleh warga dengan bergotong-royong. Masih “kumuh” tapi bagi mereka itu sudah menyenangkan untuk ditempati belajar. Sudah ada karpet, 2 papan tulis besar, dan satu lemari buku kecil. Sebenarnya anak-anak tidak terlalu butuh gedung besar seperti sekolah formal pada umumnya karena mereka bisa belajar dimana saja. Bisa belajar menghitung dari botol-botol bekas yang mereka pungut, bisa belajar bahasa inggris dari benda-benda di sekitarnya, dll. Tidak musti di gedung bagus,kan? Untuk sementara kami focus pada bagaimana menciptakan suasana akrab dengan anak-anak mengingat kebanyakan kami adalah volunteer baru yang masih butuh adaptasi dengan anak-anak. Mereka adalah anak-anak dengan kehidupan yang tergolong “keras” tentu pola komunikasi yang mereka gunakan juga berbeda. Kami juga harus menyesuaikan diri dengan mereka. Jangan sampai membuat mereka merasa asing dengan keberadaan kami.  Dan ini tidak bisa instant, pasti butuh proses.

Closing and wishes..
          Ke depannya semoga saya dan kawan-kawan volunteer bisa tetap konsisten dan semakin semangat mendampingi adik-adik di sekolah rakyat kami..  semoga smakin banyak hal yang bisa kami lakukan untuk mereka, generasi-generasi emas bangsa ini. insyaAllah.

Demikian catatan singkat saya tentang sekolah kami. Sebenarnya masih banyak yang ingin saya ceritakan, mungkin dalam episode berikutnya,ya… hehehe… *to be continue… ^_^

“Hidup ini indah saat kita berbagi”

Written by; Angriana, April 4th 2012

1 komentar:

  1. "Hidup indah untuk berbagi" ^^
    sebaik baik orang adalah yang membri manfaat

    BalasHapus