Kemarin
sebuah pesan singkat masuk ke telpon selulerku. Hari ini ada pertemuan dengan
kawan-kawan komunitas Sekolah KAMI. Pertemuannya di Sekolah, pukul 16.00. Cuaca
tak bersahabat sore hari. Hujan selalu menyabangi langit Makassar. Beberapa
kali langkahku harus terhenti karena hujan. Dua hari lalu aku harus habiskan
sore di pinggir danau UNHAS karena hujan. Sebelumnya pun aku hanya keliling
kampus karena hujan yang tiba-tiba mengguyur.
Jalanan
dekat sekolah sangat becek dan berlumpur. Sampah tergenang dimana-mana. Sepatu
kets putih yang kugunakan harus kurelakan berganti warna. Celanaku pun tak
luput dari percikan lumpur. Saat seperti ini rasanya ingin berada di kamar dan
mendekam. mendengar lagu dengann segelas coklat hangat atau terlelap dalam
mimpi adalah pilihan paling menyenangkan. Namun, itu bukan pilihan yang baik.
Melanjutkan perjalanan karena disana kawan-kawan telah menunggu.
Akhirnya
sampai juga di Sekolah, tempatnya tak lebih baik dari jalanan yang telah kulewati.
Di sudut ruangan tumpukan karton bertebaran. Di tampung sementara, jika karton
itu basah maka harganya tentu berkurang banyak. Beberapa spanduk dengan lumpur mengering digelar untuk
duduk. Lantai ruangan itu sedang tak bersih. Harus maklum karena pada kondisi
seperti ini mereka akan lebih mementingkan menyelamatkan barang-barang hasil
memulungnya.
Di
Sekolah telah ada Risvan, Rahi, Suci, Lisa, Taufik, Anca, Wilgun. Mereka telah
memulai diskusinya sejak tadi. Ada pula tiga anak peserta sekolah yang ikut
nimbrung, sesekali mengganggu kami.
Lokasi
sekolah yang sekarang tak bisa lagi dipakai. Tanah yang ditempati sekarang
bersama beberapa warga tak lama lagi akan dibanguni gedung. Mungkin akan jadi
pondokan mahasiswa. Hasilnya jauh lebih menjanjikan dibandingkan menjadi tempat
warga pemulung. Beberapa warga telah berinisiatif mencari tempat baru. Di
belakang UIM telah kami temukan lokasinya, luasnya 20 X 10 meter. Pemiliknya
telah meminjamkan untuk jangka waktu 2 tahun. Bersama seorang kawan dari Arcom,
namanya Cora telah dibuat gambaran bagaimana perumahan warga di tempat baru
itu. Nama kampungnya pun telah ada. “Kampung Berua” harapannya di tempat baru
hidup yang lebih baik akan mereka dapatkan. Semua telah disiapkan, menghubungi
pemerintah setempat, meminta sambungan listrik dan air bersih pada pondokan
depan kampung tersebut.
Di kampung tersebut telah di rancang akan ada 8 rumah
yang dibangun. Di depannya akan berdiri sekolah tempat kami belajar bersama
warga dan anak-anak. Kami tak mengajar disana, tapi justru belajar pada hidup
mereka. Pelajaran yang didapat jauh lebih besar dibanding pelajaran menghitung,
membaca atau mengaji yang kami lakukan. Disana kita belajar kebersamaan, kita
belajar bertahan hidup, disana kita belajar bahwa bahagia itu sederhana, disana
kita belajar betapa beruntungnya kita dengan segala fasilitas yang kita punya
sejak lahir. Disana kita belajar untuk hidup dan tak mengeluh.
Selesai
diskusi kami sepakat untuk melihat lokasi sekolah yang baru. Lokasinya di
perumahan Antara belakang UIM. Telah berdiri 3 rumah, nyala lampu minyak
menandakan rumah itu telah dihuni. Tanah itu harapan mereka untuk tetap
melanjutkan hidup di Makassar. Mama Pardi menyambut kami, mengajak naik ke
rumahnya. Tapi tangga untuk kesana tak terlalu baik sehingga rumah sebelah yang
menjadi pilihan.
Rumah-rumah dibangun dengan sederhana. Dibangun dari
sisa-sisa kayu bangunan yang dikumpul, berdinding tripleks bekas. Malam sangat
gelap sehingga aku tak bisa melihat jelas kondisi rumah-rumah itu. Yang aku tahu
rumah itu berdiri diatas rawa. Dibuat dua lantai. Bagian bawah untuk menyimpan
barang-barang sedang lantai atas untuk tempat tidur. Rumah mereka di sekat dua.
Ruang dalam dan ruang luar. Tapi malam itu aku numpang shalat di rumah mama
Pardi dan kulihat sebenarnya fungsi kedua ruang itu pada malam hari menjadi
tempat tidur. Didalam untuk anak-anak mereka, sedang bagian luar untuk orang
tuanya.
Kami
melihat maket sekolah yang belum selesai. Terdiri dua lantai, modelnya
mengingatkanku pada model rumah gadang. Kemarin aku baca di media cetak. Rumah
gadang merupakan salah satu bentuk rumah tradisional yang tahan gempa. Sekolah KAMI akan dibangun diatas rawa, akan
menjadi area bermain dan belajar kurang lebih 30 anak. Ruang 2 lantai dengan
bahan dari bambu dan atap rumbia. Sekolah yang akan dibangun dengan bantuan
banyak orang.
Tapi
itu tak semudah yang kami bayangkan. Lokasi sekolah sedang bermasalah. Pihak
kepolisian meminta rumah yang telah ada dirubuhkan hingga kasus tersebut
selesai. Untung saja pemilik tanah berkeras dan meminta rumah tersebut
dibiarkan berdiri dengan perjanjian tak akan ada penambahan bangunan baru.
Diatas tanah tersebut ada dua sertifikat tanah
yang sama. Tiga rumah yang telah berdiri disana menjadi pemicu. Pemilik
sertifikat yang satunya merasa tanahnya diserobot. Kami harus menunggu proses tersebut, hal lain
yang dilakukan adalah mencari lokasi lain sebagai alternative. Namun ini bukan
hanya sekolah, juga warga yang akan pindah bersama lokasi sekolah yang baru.
Disana
kita bisa berbagi bahagia,
Senyum
tulus dan tawa lepas adalah paling berharga yang tak terbeli
23
April 2012
penulis : A. Nini Eryani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar