Tentang Sekolah Rakyat KAMI

Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia
Pendidikan untuk semua. Inilah yang menjadi dasar didirikannya Sekolah Rakyat Kami. Bergerak pada isu pendidikan Alternatif, sekolah Rakyat KAMI (Komunitas Anak Miskin) mendampingi anak-anak pemulung yang terletak di pintu nol Politeknik Negeri Ujung Pandang atau belakang workshop Unhas (pemukiman pemulung). Sejak didirikannya pada tahun 2007 sampai hari ini, sekitar 30an anak pemulung dengan rutin bermain dan belajar bersama disebuah gubuk kecil, usang, namun nyaman yang sering kami sebut dengan nama Sekolah. Karena di Sekolah rakyat KAMI, tidak ada sekat formal yang membatasi anak untuk berlajar

Sabtu, 19 Mei 2012

Mencari Rumah Baru untuk Sekolah KAMI


Kemarin sebuah pesan singkat masuk ke telpon selulerku. Hari ini ada pertemuan dengan kawan-kawan komunitas Sekolah KAMI. Pertemuannya di Sekolah, pukul 16.00. Cuaca tak bersahabat sore hari. Hujan selalu menyabangi langit Makassar. Beberapa kali langkahku harus terhenti karena hujan. Dua hari lalu aku harus habiskan sore di pinggir danau UNHAS karena hujan. Sebelumnya pun aku hanya keliling kampus karena hujan yang tiba-tiba mengguyur.


Jalanan dekat sekolah sangat becek dan berlumpur. Sampah tergenang dimana-mana. Sepatu kets putih yang kugunakan harus kurelakan berganti warna. Celanaku pun tak luput dari percikan lumpur. Saat seperti ini rasanya ingin berada di kamar dan mendekam. mendengar lagu dengann segelas coklat hangat atau terlelap dalam mimpi adalah pilihan paling menyenangkan. Namun, itu bukan pilihan yang baik. Melanjutkan perjalanan karena disana kawan-kawan telah menunggu.

Akhirnya sampai juga di Sekolah, tempatnya tak lebih baik dari jalanan yang telah kulewati. Di sudut ruangan tumpukan karton bertebaran. Di tampung sementara, jika karton itu basah maka harganya tentu berkurang banyak. Beberapa  spanduk dengan lumpur mengering digelar untuk duduk. Lantai ruangan itu sedang tak bersih. Harus maklum karena pada kondisi seperti ini mereka akan lebih mementingkan menyelamatkan barang-barang hasil memulungnya.

Di Sekolah telah ada Risvan, Rahi, Suci, Lisa, Taufik, Anca, Wilgun. Mereka telah memulai diskusinya sejak tadi. Ada pula tiga anak peserta sekolah yang ikut nimbrung, sesekali mengganggu kami.

Lokasi sekolah yang sekarang tak bisa lagi dipakai. Tanah yang ditempati sekarang bersama beberapa warga tak lama lagi akan dibanguni gedung. Mungkin akan jadi pondokan mahasiswa. Hasilnya jauh lebih menjanjikan dibandingkan menjadi tempat warga pemulung. Beberapa warga telah berinisiatif mencari tempat baru. Di belakang UIM telah kami temukan lokasinya, luasnya 20 X 10 meter. Pemiliknya telah meminjamkan untuk jangka waktu 2 tahun. Bersama seorang kawan dari Arcom, namanya Cora telah dibuat gambaran bagaimana perumahan warga di tempat baru itu. Nama kampungnya pun telah ada. “Kampung Berua” harapannya di tempat baru hidup yang lebih baik akan mereka dapatkan. Semua telah disiapkan, menghubungi pemerintah setempat, meminta sambungan listrik dan air bersih pada pondokan depan kampung tersebut.

Di kampung tersebut telah di rancang akan ada 8 rumah yang dibangun. Di depannya akan berdiri sekolah tempat kami belajar bersama warga dan anak-anak. Kami tak mengajar disana, tapi justru belajar pada hidup mereka. Pelajaran yang didapat jauh lebih besar dibanding pelajaran menghitung, membaca atau mengaji yang kami lakukan. Disana kita belajar kebersamaan, kita belajar bertahan hidup, disana kita belajar bahwa bahagia itu sederhana, disana kita belajar betapa beruntungnya kita dengan segala fasilitas yang kita punya sejak lahir. Disana kita belajar untuk hidup dan tak mengeluh.

Selesai diskusi kami sepakat untuk melihat lokasi sekolah yang baru. Lokasinya di perumahan Antara belakang UIM. Telah berdiri 3 rumah, nyala lampu minyak menandakan rumah itu telah dihuni. Tanah itu harapan mereka untuk tetap melanjutkan hidup di Makassar. Mama Pardi menyambut kami, mengajak naik ke rumahnya. Tapi tangga untuk kesana tak terlalu baik sehingga rumah sebelah yang menjadi pilihan. 

Rumah-rumah dibangun dengan sederhana. Dibangun dari sisa-sisa kayu bangunan yang dikumpul, berdinding tripleks bekas. Malam sangat gelap sehingga aku tak bisa melihat jelas kondisi rumah-rumah itu. Yang aku tahu rumah itu berdiri diatas rawa. Dibuat dua lantai. Bagian bawah untuk menyimpan barang-barang sedang lantai atas untuk tempat tidur. Rumah mereka di sekat dua. Ruang dalam dan ruang luar. Tapi malam itu aku numpang shalat di rumah mama Pardi dan kulihat sebenarnya fungsi kedua ruang itu pada malam hari menjadi tempat tidur. Didalam untuk anak-anak mereka, sedang bagian luar untuk orang tuanya.

Kami melihat maket sekolah yang belum selesai. Terdiri dua lantai, modelnya mengingatkanku pada model rumah gadang. Kemarin aku baca di media cetak. Rumah gadang merupakan salah satu bentuk rumah tradisional yang tahan gempa.  Sekolah KAMI akan dibangun diatas rawa, akan menjadi area bermain dan belajar kurang lebih 30 anak. Ruang 2 lantai dengan bahan dari bambu dan atap rumbia. Sekolah yang akan dibangun dengan bantuan banyak orang.

Tapi itu tak semudah yang kami bayangkan. Lokasi sekolah sedang bermasalah. Pihak kepolisian meminta rumah yang telah ada dirubuhkan hingga kasus tersebut selesai. Untung saja pemilik tanah berkeras dan meminta rumah tersebut dibiarkan berdiri dengan perjanjian tak akan ada penambahan bangunan baru.

Diatas tanah tersebut ada dua sertifikat tanah yang sama. Tiga rumah yang telah berdiri disana menjadi pemicu. Pemilik sertifikat yang satunya merasa tanahnya diserobot.   Kami harus menunggu proses tersebut, hal lain yang dilakukan adalah mencari lokasi lain sebagai alternative. Namun ini bukan hanya sekolah, juga warga yang akan pindah bersama lokasi sekolah yang baru.

Disana kita bisa berbagi bahagia,
Senyum tulus dan tawa lepas adalah paling berharga yang tak terbeli
23 April 2012

penulis : A. Nini  Eryani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar