Tentang Sekolah Rakyat KAMI

Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia
Pendidikan untuk semua. Inilah yang menjadi dasar didirikannya Sekolah Rakyat Kami. Bergerak pada isu pendidikan Alternatif, sekolah Rakyat KAMI (Komunitas Anak Miskin) mendampingi anak-anak pemulung yang terletak di pintu nol Politeknik Negeri Ujung Pandang atau belakang workshop Unhas (pemukiman pemulung). Sejak didirikannya pada tahun 2007 sampai hari ini, sekitar 30an anak pemulung dengan rutin bermain dan belajar bersama disebuah gubuk kecil, usang, namun nyaman yang sering kami sebut dengan nama Sekolah. Karena di Sekolah rakyat KAMI, tidak ada sekat formal yang membatasi anak untuk berlajar

Selasa, 27 Maret 2012

Eksploitasi Pemulung Berujung pada Eksploitasi Anak


Pemulung sangat teresploitasi oleh pedagang pengumpul. Di salah satu komunitas pemulung yang ada di jalan politeknik pintu nol UNHAS. Pemulung harus membayar 100 ribu sampai 150 ribu perbulannya pada pedagan pengumpul untuk biaya listrik. Padahal rata rata warga hanya memakai  lampu saja. Dalam Satu rumah mereka menggunkan 2 balon lampu bahkan ada beberapa rumah hanya menggunkan satu lampu saja danhampir  tak ada perlatan elektronik lain yang menggunakan listrik. Di permukiman itu  Hanya ada 2 rumah yang memilki Tv.

Hanya pada malam hari mereka menggunakan listrik untuk penerangan sebab siang hari cahaya matahari cukup untuk penerangan dalam rumah. Pada malam hari mereka juga tak lama menggunkan listrik. Jika jalan jalan permukiman tersebut jam 9 malam kita tidak akan menemukan lampu lampu yang menyala mereka tidur cepat untu bangun di subuh hari.


Tidak hanya itu warga pun mengeluh banyaknya potongan yang diberlakukan pedangan pengumpul pada semua jenis barang pulungan yang di timbang pada pedagan pengumpul dikenakan potongan berlebihan. Dalam sepuluh kilo barang yang pemulung hasilkan akan di bayar dengan harga 7 kilo.
Tak hanya itu pemulung juga mencurigai adanya kecurangan pada timbangan pedangan pengumpul faktanyapun dibawah timbangan terdapat campuran pasir dan semen yang melengket.

Belum lagi harga jual yang ditentukan oleh pedagan pengumpul sangat jauh dari harga yang ada di pasaran. Warga sangat bergantung pada pedangan pengumpul. Ketergantungan warga pada pedagan adalah tempat tinggal mereka.
Pemulung tidak memiliki tanah untuk mendirikan rumah disinilah pedangan pengumpul mengikat pemulung. Meski lahan yang di tempati pemulung bukan milik pedagan pengumpul namun warga tetap takut menjual hasil pulungannya ditempat lain sebab mereka merasa mereka dibolehkan tinggempata tersebut atal di atas bantuaan  pedangan pengumpul.
Setelah mengecek ke beberapa pemilik tanah. Ternyata tak pernah ada pedangan pengumpul yang datang meminta ijin untuk menempati lahan yang menjadi tempat tinggal para pemulung.

Menurut pemilik tanah mereka membiarkan pemlung untuk sementara tinggal sampai pemiliknya akan membangun rumah.
Tak hanya itu pemulung juga  seringkali tidak langsung menerima uang setelah menimbang hasil pulungan karna pedagan pengumpul menggilir yang menerima uang langsung setelah menimbang. Kadang kadang tiap tiga hari mereka menimbang menerima uangnya terkadang 1 sampai 2 minggu. ini benar benar menyulitkan warga pemulung. Karna tiap harinya mereka harus belanja untuk kebutuhan makan.

Kondisi ini mendesak warga berutang pada tetangga ataupun pada pedagang kios kios jika ada yang sedang berbaik hati. Dalam keadaan terdesak warga kadang meminjam pada uang yng berbunga pada rentenir. Uang yang dipinjam direntir untuk kebutuhan sehari hari seperti untuk beras jika sedang habis.
Pemulung sangat rentan mereka tak punya jaminan hidup terlebih jika  Jika sewaktu waktu mereka sakit. Mereka sama sekali tak punya jaringan pengamanan. Tak ada tetangga yang lebih kaya untuk meminjam. Tak ada kerabat dekat yang bisa mereka mintai bantuaan. Hanya ada pedagang pengumpul yang makin membuat mereka makin terikat  dengan perasaan utang budi, sehingga plastik yang mereka jual dibeli murah sekalipun tak bisa mereka tolak dan memiliki kebebasan menjual ke pedagang pengumpul yang membeli lebih mahal.

Kondisi ini membuat seluruh anggota dalam keluarga harus bekerja. Didalam rumah bapak, ibu, anak anak sama sama bekerja. Asal  anak mereka sudah bisa jalan orangtua akan membawa anaknya memulung
Anak anak yang seharusnya masih bermain terpaksa kehilangan hak hak lainnya.  Seharunya Negara  memberi perlindungan dan rasa aman pada mereka.   Meski sebenaranya  telah di atur dalam undang undang no 23 tahun 2002. Namun ini tidak memberi jaminan rasa aman kepada mereka.

Anak anak pemulung bekerja dari pagi hingga sore hari. Jam 4 sore mereka akan pulang bersama orang tua mereka ataupun mereka pulang sendiri. Selain waktu yang tersita untuk bekerja anak anak juga sangar rentan mengalami kekerasan. Seringkali mereka akan bertemu dengan komunitas lain seperti pedagan jajanan yang berkeliling dikampus. Berawal dari ejekan satu sama lain dan akhirnya berakhir dengan perkelahiaan. Tak hanya konflik antar pekerja anak anak yang berbeda komunitas tapi seringkali mereka megalami kekerasan dilingkungan pekerjaan mereka.
Konflik konflik kecil susah dihindarkan antar sesama pemulung. Soal wilayah pulungan seringkali anak anak yang jadi korban. Anak anak seringkali harus berhadapan dengan pemulung dewasa. kadang kadang mereka mengusir anak anak yang sedang memulung ditempat pembuangan sampah yang ada dikampus.Konflik yang terjadi bisanya saat anak anak ini mencari ditempat tertentu yang telah di anggap pemulung lain adalah wilayahnya.

Pernah sekali ada anak yang menagis di bawah pohon. Ia mengeluhkan tangannya sakit. Katanya tangannya diputar oleh seorang pemulung dewasa karna dituduh mencuri barangnya. Padahal anak itu mengambil gelas plastic yang baru saja di buang salah seorang mahasiswa yang baru saja melaksanakan kegitan di gedung GPI Unhas.
Belum lagi jika anak anak ini tidak mendapat hasil yang banyak karna mereka bermain dengan teman teman pemulung anak anak yang lainnya. di rumah mereka akan kena marah dari orangtua bahkan sampai dipukuli.bahkan ada yang terusir dari rumah mereka dan harus tinggal sendiri.

Sangat banyak kasus yang pernah terjadi. Anak anak ini tak hanya rentan mengalami kekerasn fisik tapi mereka juga banyak  kehilangan waktu bermain dan tak memiliki kesempatan untuk bersekolah.  Anak ini tumbuh dalam kondisi yang sulit prustasi dengan keinginan keinginan anak anak yang tak terpenuhi lalu menjadi “nakal” seperti orang kebanyakan bilang. Sejak kecil stigma buruk melekat pada mereka. Tapi apakah ini pilihan mereka? Silahkan anda menjawab
Saat ini tercatat 3,7 juta anak.

Anak anak pemulung ini hanya bagian kecil dari pekerja anak yang tersebar diberbagai sector.  Tak terhitung pula kasus kasus kekersan yang terjadi tapi sepertinya hanya menjadi sederetan fakta fakta yang memberi rasa iba pada kita. Tapi apakah rasa iba cukup menyelaisakan mampu menghindarkan mereka dari kekerasan dan rasa aman atau memenuhi hak hak mereka?
Lalu siapa yang dimaksudkan Undang undang dasar kita yang berbunyi “fakir miskin dan anak anak terlantar  dipelihara oleh Negara”

penulis : Rahiwati Sanusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar